KEARIFAN
LOKAL “BEJI” SEBAGAI UPAYA MENJAGA KETERSEDIAAN AIR BERSIH
Kata “Beji”
dalam bahasa Bali artinya tempat pemandian. Dalam kehidupan tradisional
masyarakat Bali, terutama di pedesaan pada umumnya tersedia fasilitas beji yang
dimanfaatkan oleh warga desa untuk mandapatkan pasokan air bersih, sekaligus
berfungsi sebagai Mandi Cuci Kakus (MCK). Dengan adanya pemanfaatan beji
sebagai MCK, menjadikan keberadaan sumber air beji itu sendiri serta
permasalahan mengenai sanitasinya menjadi salah satu hal yang perlu
diperhatikan. Namun tahap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini
tidak menjadikan terwujudnya penanganan mendalam mengenai kebradaan air bersih
yang menjadi sumber dari beji itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari berbagai
contoh maupun dari segi penerapan, pembersihan, dan pensterilan sumber air
beji. Kendati telah dikembangkan berbagai solusi untuk menangani ketersediaan
air bersih yang menjadi sumber beji dirasakan belum berpengaruh banyak terhadap
kebersihan air, dan belum dapat menjamin masalah sanitasi air tersebut.
Berhubungan dengan hal yang telah dipaparkan sebelumnya,
penanganan terhadap sanitasi air yang menjadi sumber dari beji perlu
diperhatikan mengingat pola pemahaman masyarakat yang sebagian besar hanya
memanfaatkan beji sebagai tempat MCK dan tidak memperhatikan keberadaan
lingkungan yang menjadi sumber air beji. Terkait dengan sumber-sumber airnya
keberadaan beji dapat dipecah menjadi kelompok-kelompok yang umum yang dapat
dibagi lagi menjadi unit yang lebih mengkhusus. Misalnya beji yang bersumberkan
dari mata air dapat dikelompokkan lagi menjadi unit yang lebih mengkhusus
sesuai dengan tempat dan letak ketinggiannya yang secara tidak langsung dapat
mempengaruhi kualitas kebersihan di beji itu sendiri. Contohnya kualitas air di
beji yang mata airnya berada di dekat sungai memiliki kemungkinan yang lebih
besar tercemar daripada mata air beji yang berada di daerah pegunungan.
Permasalahan mengenai sanitasi dan kualitas beji tidak hanya
memiliki hubungan dengan letak serta kondisi cuaca yang mendukung, namun
berkaitan juga dengan mekanisme pembangunannya. Keterkaitan
tersebut dapat dilihat dari penggunaan bahan material yang digunakan untuk
membangun beji.
Pemilihan bahan material yang tidak mudah berlumut, tidak mudah rapuh, dan
kokoh juga perlu diperhatikan. Selain itu peranan masyarakat dalam pembangunan
beji baik dalam kegiatan penstrukturan maupun dalam kegiatan lain yang dapat
mendukung sanitasi pada beji tersebut. Tahap pembangunan beji dapat dimulai
dari kegiatan pengumpulan penyandang dana, perancang, serta pengadaan
kelompok-kelompok yang memimpin pergerakan pembangunan tersebut. Selain itu
perenopasian terhadap beji yang sudah tidak layak pakai juga diperlukan untuk
menjaga kestabilitasan air.
Dilihat dari sisi yang lain, eksistensi beji seperti telah
mempengaruhi anggapan serta argument
dari beberapa kalangan masyarakat. Hal tersebut terbukti jelas terutama pada
masyarakat desa yang sering menganggap bahwa keberadaan beji merupakan hal
utama dan bagian penting desa yang dapat menjadi penyucian berbagai pihak dan kalangan
yang juga mempengaruhi pemahaman konsep hidup beragama masyarakat tersebut.
Dari segi sosial budaya dengan adanya beji sebagai MCK umum secara tidak
langsung dapat menambah keakraban dan kualitas hubungan masyarkat yang semakin
membaik. Selain itu juga dapat menambah erat tali persaudaraan yang sering
dating ke beji dan berkumpul untuk sekedar mandi sambil bercengkrama.
Keberadaan beji tersebar bahkan hampir di seluruh wilayah
Bali. Salah satu contoh desa yang memanfaatkan beji adalah Desa Pakraman Asak
yang terletak di Kecamatan dan Kabupaten Karangasem. Di Desa Pakraman Asak
lebih kurang terdapat empat buah beji. Keempat beji yang
terdapat di desa ini merupakan beji yang sudah turun-temurun. Menurut
keterangan para tokoh masyarakat proses pembuatan beji di desa ini melibatkan
masyarakat secara langsung. Keberadaan beji di desa Pakraman Asak yang mengikat
kebebasan masyarakat yang berlebihan dalam mengambil air. Peraturan tersebut
bertujuan untuk menanggulangi bahaya eksploitasi terhadap pasokan air di beji.
Selain itu juga agar air di beji tersebut masih dapat dimanfaatkan secara
berkesinambungan.
Seluruh
masyarakat desa Pakraman Asak diwajibkan untuk tetap menjaga kebersihan beji.
Hal ini tiada lain bertujuan untuk tetap menjaga kualitas air bersih sebagai
sumber air sebagian besar para penduduk desa yang memiliki berbagai fungsi. Secara
tidak langsung ternyata hal tersebt berjalan baik sehingga masyarakat di desa
Pakraman Asak tidak pernah bermasalah dengan ketersidiaan air bersih bahkan
pada musim kemarau. Selain sebagai pasokan air bersih beji yang terapat di desa
Pakraman asak juga digunakan untuk mengairi sawah saat musim kemarau karena
sebagian besar mata pencaharian penduduk di desa ini sebagai petani. Untuk
menghindari kekurangan air bahkan kekringan pada musim kemarau maka dibuatkan
peraturan mengenai tata cara penggunaan air sepeti menggunakan air secara
bergilir. Dalam hal ini biasanya melibatkan organisasi Subak sebagai pengatur
penggunaan air bersih. Mengenai masalah
kebersihan beji para masyarakat di Desa Pakraman Asak mengadakan gotong royong
setiap seminggu sekali untuk membersihkan beji.
Oleh
karena itu pembuatan beji hendaknya diterapkan di seluruh desa adat di Bali.
Alasannya karena dengan adanya beji ditengah masyarakat di Bali dapat menambah
budaya kearifan lokal. Maksudnya masyarakat dapat lebih menghargai dan dapat
menjaga warisan turun-temurun sebagai salah satu inti sejarah yang timbul sejak
dulu.
Melalui
kearifan lokal, “beji’ telah menanamkan pendidikan cinta lingkunganm,
menyadarkan masyarakat akan pentingnya memanfaatkan, mengalirkan, dan menyimpan
air untuk kehidupan yang berkelanjutan. Bukti nyata dari penerapan pemahaman
cinta lingkungan dapat diterapkan sedini mungkin mengingat keberadaan beji yang
merupakan salah satu penegak keberadaan pasokan air bersih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar