Minggu, 05 Februari 2012

sekedar coretan pena ^^


KEARIFAN LOKAL “BEJI” SEBAGAI UPAYA MENJAGA KETERSEDIAAN AIR BERSIH
Kata “Beji” dalam bahasa Bali artinya tempat pemandian. Dalam kehidupan tradisional masyarakat Bali, terutama di pedesaan pada umumnya tersedia fasilitas beji yang dimanfaatkan oleh warga desa untuk mandapatkan pasokan air bersih, sekaligus berfungsi sebagai Mandi Cuci Kakus (MCK). Dengan adanya pemanfaatan beji sebagai MCK, menjadikan keberadaan sumber air beji itu sendiri serta permasalahan mengenai sanitasinya menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan. Namun tahap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini tidak menjadikan terwujudnya penanganan mendalam mengenai kebradaan air bersih yang menjadi sumber dari beji itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari berbagai contoh maupun dari segi penerapan, pembersihan, dan pensterilan sumber air beji. Kendati telah dikembangkan berbagai solusi untuk menangani ketersediaan air bersih yang menjadi sumber beji dirasakan belum berpengaruh banyak terhadap kebersihan air, dan belum dapat menjamin masalah sanitasi air tersebut.
Berhubungan dengan hal yang telah dipaparkan sebelumnya, penanganan terhadap sanitasi air yang menjadi sumber dari beji perlu diperhatikan mengingat pola pemahaman masyarakat yang sebagian besar hanya memanfaatkan beji sebagai tempat MCK dan tidak memperhatikan keberadaan lingkungan yang menjadi sumber air beji. Terkait dengan sumber-sumber airnya keberadaan beji dapat dipecah menjadi kelompok-kelompok yang umum yang dapat dibagi lagi menjadi unit yang lebih mengkhusus. Misalnya beji yang bersumberkan dari mata air dapat dikelompokkan lagi menjadi unit yang lebih mengkhusus sesuai dengan tempat dan letak ketinggiannya yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi kualitas kebersihan di beji itu sendiri. Contohnya kualitas air di beji yang mata airnya berada di dekat sungai memiliki kemungkinan yang lebih besar tercemar daripada mata air beji yang berada di daerah pegunungan.
Permasalahan mengenai sanitasi dan kualitas beji tidak hanya memiliki hubungan dengan letak serta kondisi cuaca yang mendukung, namun berkaitan juga dengan mekanisme pembangunannya. Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari penggunaan bahan material yang digunakan untuk membangun beji. Pemilihan bahan material yang tidak mudah berlumut, tidak mudah rapuh, dan kokoh juga perlu diperhatikan. Selain itu peranan masyarakat dalam pembangunan beji baik dalam kegiatan penstrukturan maupun dalam kegiatan lain yang dapat mendukung sanitasi pada beji tersebut. Tahap pembangunan beji dapat dimulai dari kegiatan pengumpulan penyandang dana, perancang, serta pengadaan kelompok-kelompok yang memimpin pergerakan pembangunan tersebut. Selain itu perenopasian terhadap beji yang sudah tidak layak pakai juga diperlukan untuk menjaga kestabilitasan air.
Dilihat dari sisi yang lain, eksistensi beji seperti telah mempengaruhi anggapan  serta argument dari beberapa kalangan masyarakat. Hal tersebut terbukti jelas terutama pada masyarakat desa yang sering menganggap bahwa keberadaan beji merupakan hal utama dan bagian penting desa yang dapat menjadi penyucian berbagai pihak dan kalangan yang juga mempengaruhi pemahaman konsep hidup beragama masyarakat tersebut. Dari segi sosial budaya dengan adanya beji sebagai MCK umum secara tidak langsung dapat menambah keakraban dan kualitas hubungan masyarkat yang semakin membaik. Selain itu juga dapat menambah erat tali persaudaraan yang sering dating ke beji dan berkumpul untuk sekedar mandi sambil bercengkrama.
Keberadaan beji tersebar bahkan hampir di seluruh wilayah Bali. Salah satu contoh desa yang memanfaatkan beji adalah Desa Pakraman Asak yang terletak di Kecamatan dan Kabupaten Karangasem. Di Desa Pakraman Asak lebih kurang terdapat empat buah beji. Keempat beji yang terdapat di desa ini merupakan beji yang sudah turun-temurun. Menurut keterangan para tokoh masyarakat proses pembuatan beji di desa ini melibatkan masyarakat secara langsung. Keberadaan beji di desa Pakraman Asak yang mengikat kebebasan masyarakat yang berlebihan dalam mengambil air. Peraturan tersebut bertujuan untuk menanggulangi bahaya eksploitasi terhadap pasokan air di beji. Selain itu juga agar air di beji tersebut masih dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan.
Seluruh masyarakat desa Pakraman Asak diwajibkan untuk tetap menjaga kebersihan beji. Hal ini tiada lain bertujuan untuk tetap menjaga kualitas air bersih sebagai sumber air sebagian besar para penduduk desa yang memiliki berbagai fungsi. Secara tidak langsung ternyata hal tersebt berjalan baik sehingga masyarakat di desa Pakraman Asak tidak pernah bermasalah dengan ketersidiaan air bersih bahkan pada musim kemarau. Selain sebagai pasokan air bersih beji yang terapat di desa Pakraman asak juga digunakan untuk mengairi sawah saat musim kemarau karena sebagian besar mata pencaharian penduduk di desa ini sebagai petani. Untuk menghindari kekurangan air bahkan kekringan pada musim kemarau maka dibuatkan peraturan mengenai tata cara penggunaan air sepeti menggunakan air secara bergilir. Dalam hal ini biasanya melibatkan organisasi Subak sebagai pengatur penggunaan air bersih.  Mengenai masalah kebersihan beji para masyarakat di Desa Pakraman Asak mengadakan gotong royong setiap seminggu sekali untuk membersihkan beji.
Oleh karena itu pembuatan beji hendaknya diterapkan di seluruh desa adat di Bali. Alasannya karena dengan adanya beji ditengah masyarakat di Bali dapat menambah budaya kearifan lokal. Maksudnya masyarakat dapat lebih menghargai dan dapat menjaga warisan turun-temurun sebagai salah satu inti sejarah yang timbul sejak dulu.
Melalui kearifan lokal, “beji’ telah menanamkan pendidikan cinta lingkunganm, menyadarkan masyarakat akan pentingnya memanfaatkan, mengalirkan, dan menyimpan air untuk kehidupan yang berkelanjutan. Bukti nyata dari penerapan pemahaman cinta lingkungan dapat diterapkan sedini mungkin mengingat keberadaan beji yang merupakan salah satu penegak keberadaan pasokan air bersih. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar